Puluhan Tambak Udang Aliong Diduga Serobot Hutan Mangrove di Penebal Bengkalis

Foto: Salah satu pemilik tambak udang diduga ilegal di Bengkalis inisial Aliong.
BENGKALIS | RADARGEP.COM – Puluhan lahan tambak udang milik seorang pengusaha inisial Aliong di Desa Penebal, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau, diduga kuat menyerobot kawasan hutan mangrove.
Aktivitas ilegal ini terungkap setelah tim investigasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Penjara Indonesia bersama sejumlah awak media melakukan peninjauan langsung ke lokasi pada Minggu (14/9/2025).
Menurut pantauan di lapangan, tim menemukan puluhan petak tambak udang yang sudah beroperasi. Parahnya lagi, terlihat ada pembukaan lahan baru dengan menggunakan alat berat di area yang masih ditumbuhi pohon mangrove.
Aktivitas ini disinyalir meluas dan mengancam ekosistem mangrove yang berperan penting sebagai benteng alami dari abrasi pantai.
Menanggapi temuan ini, Ketua LSM Penjara Indonesia, Ir. Nazaldi melalui Relas selaku Sekretaris DPD Provinsi Riau menyayangkan dan mengutuk keras segala bentuk pengrusakan hutan Mangrove yang diubah menjadi tambak udang.
"Kami dari LSM Penjara Indonesia mengutuk keras perambahan hutan mangrove yang disulap menjadi lahan tambak. Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan kejahatan lingkungan sistematis yang merampas masa depan ekosistem pesisir kita," kata Relas kepada awak media, Selasa (16/09/2025).
Menurutnya, jika tidak ada izin resmi tambak dalam skala sebesar itu maka merupakan tamparan telak bagi komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian alam.
Publik mempertanyakan peran pengawasan dari instansi terkait. Bagaimana mungkin proyek sebesar ini bisa lolos tanpa terdeteksi? Ini bukan lagi soal kelalaian, tapi diduga ada pembiaran atau bahkan main mata. Relas mengaku, LSM Penjara Indonesia akan melayangkan surat klarifikasi resmi kepada pihak terkait.
"Kami menuntut agar pihak berwajib tidak hanya menghentikan proyek ini, tetapi juga mengusut tuntas siapa dalang di baliknya, termasuk oknum-oknum yang terlibat dalam proses perizinan," tegas Sekretaris DPD LSM Penjara Indonesia.
"Kami akan menyurati pihak terkait untuk memastikan perizinan tambak tersebut dan jika ditemukan ada pelanggaran, maka kita akan membuat laporan resmi guna penindakan secara hukum," pungkasnya mengakhiri.
Di lain sisi, Aliong saat dikonfirmasi yang diduga pemilik tambak, Senin (15/9/2025) pagi, sekitar pukul 08.51 WIB, menolak bertanggung jawab. Ia berdalih tidak mengetahui masalah perizinan tambak tersebut.
"Itu urusan si Jhoni," ujar Aliong singkat.
Pernyataan Aliong mengindikasikan adanya dugaan praktik "cuci tangan" dan pelimpahan tanggung jawab kepada pihak lain.
Sampai berita ini diterbitkan, pihak terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten Bengkalis dan Provinsi belum memberikan keterangan resmi.
Temuan ini diharapkan menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum dan instansi terkait untuk segera mengambil tindakan tegas.
Sejumlah pertanyaan publik muncul terkait sejumlah tambak udang di wilayah Bengkalis, selain diam nya APH setempat juga pihak PLN yang mengakomodir aliran listrik di wilayah yang diduga hutan mangrove tersebut.
Kerusakan lingkungan akibat perambahan hutan mangrove dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya.
Untuk diketahui, dasar hukum yang melarang perambahan hutan mangrove untuk dijadikan lahan usaha, termasuk tambak udang, di Indonesia sangat kuat dan berlapis. Berikut adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasannya:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
-
Undang-Undang ini adalah payung hukum utama yang melarang setiap orang untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
-
Konversi hutan mangrove menjadi tambak udang tanpa izin jelas termasuk dalam kategori perusakan lingkungan hidup, karena merusak ekosistem pesisir, mengancam keanekaragaman hayati, dan menghilangkan fungsi ekologisnya.
-
Pasal 104 UU PPLH menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan hidup dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan denda.
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
-
UU ini secara spesifik mengatur tentang pengelolaan hutan. Hutan mangrove sering kali termasuk dalam kategori Kawasan Hutan, baik itu Hutan Lindung, Hutan Produksi, atau Kawasan Konservasi.
-
Pasal 50 UU Kehutanan melarang setiap orang untuk merambah, membuka, atau melakukan kegiatan lain yang dapat mengancam kelestarian hutan.
-
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau denda.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
-
Peraturan Pemerintah ini adalah regulasi spesifik yang ditujukan untuk perlindungan ekosistem mangrove.
-
PP ini mengatur tentang rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove, serta larangan-larangan yang terkait dengan perusakan ekosistem ini.
-
PP ini memperkuat larangan penebangan liar, perusakan ekosistem mangrove, dan kegiatan yang dapat mengubah fungsi, mengurangi luas, dan/atau mencemari ekosistem mangrove.
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K)
-
UU ini mengatur pemanfaatan sumber daya pesisir secara berkelanjutan.
-
Dalam konteks ini, hutan mangrove merupakan bagian integral dari wilayah pesisir. Konversi hutan mangrove menjadi tambak udang tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap prinsip pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
-
UU PWP3K juga mengatur tentang perizinan dan sanksi bagi setiap orang yang melakukan kegiatan di wilayah pesisir tanpa izin yang sah.
5. Peraturan Daerah (Perda)
-
Selain peraturan di tingkat nasional, pemerintah daerah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan Perda terkait pengelolaan wilayah pesisir dan ekosistem mangrove.
-
Perda ini biasanya merinci lebih lanjut larangan, sanksi, dan tata cara perizinan yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan ekologis di masing-masing provinsi atau kabupaten/kota.
Secara umum, mengubah hutan mangrove menjadi lahan usaha, terutama tanpa izin resmi, adalah pelanggaran hukum yang serius dan dapat dikenakan sanksi pidana. Proses perizinan yang legal pun harus melalui kajian mendalam, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak merusak ekosistem. Pelanggaran terhadap dasar-dasar hukum di atas menjadi alasan kuat bagi penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku. (*/Red)
Komentar Via Facebook :