https://www.radargep.com

Siapa Dalang Aksi Penjarahan Rumah Sahroni, Eko dan Kemenkeu?

 Siapa Dalang Aksi Penjarahan Rumah Sahroni, Eko dan Kemenkeu?

Foto: Ilustrasi Aksi Penjarahan.

JAKARTA | RADARGEP.COM - Suasana di ruas Jalan Raya depan Kompleks Parlemen Senayan terpantau sepi pada Ahad siang (31/8/2025). Aparat kepolisian membentuk barikade dengan tameng di sisi kiri dan kanan jalan, sekitar seratus meter dari gerbang gedung wakil rakyat.

Tidak ada lagi kerumunan massa yang berunjuk rasa. Hanya residu gas air mata yang masih terasa di udara. Sekitar 500 meter dari Kompleks Parlemen, seorang pria muda terduduk lemas di trotoar. Ia mengaku belum makan selama dua hari.

“Saya terpisah, Bang dari teman-teman. Waktu polisi tembak gas air mata kemarin malam kami berpencar,” ujarnya. Pria kelahiran 2004 ini bersedia identitas lengkapnya dicatat, namun untuk alasan perlindungan diri, ia meminta dipanggil Ahu saja dilansir dari laman media Republika.co.id.

Ahu mengaku sudah dua hari tidak mengetahui kabar yang terjadi di Jakarta karena telepon genggamnya dititipkan kepada pemimpin rombongan. Ia tidak menyadari bahwa sejumlah rumah anggota DPR, termasuk kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah dijarah sejak Sabtu (30/8/2025) malam.

Meski begitu, sebelum mengetahui kabar tersebut, Ahu fasih menjelaskan rencana penjarahan. “Sebelum terpisah kami dikasih tahu nanti ke rumah siapa itu di Jakarta Utara, dekat kota. Daerah yang banyak mobil besarnya itu, Bang,” katanya.

Ahu menuturkan, pimpinan rombongan menginformasikan ada empat rumah yang akan menjadi sasaran penjarahan. Ia menyebut kediaman Presiden Prabowo Subianto menjadi sasaran terakhir, namun ia tidak diberitahu soal rencana penjarahan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Pemuda yang lahir di salah satu desa di Kecamatan Cimahi, Kabupaten Cimahi, itu menceritakan bagaimana ia datang ke Jakarta untuk berunjuk rasa. Ia hanya bersekolah sampai tamat sekolah dasar dan sehari-hari bekerja membantu orang tuanya menggarap sawah sewaan.

Beberapa tahun terakhir, ia mengaku sering diajak berunjuk rasa ke Bandung dan Jakarta oleh seorang "abang-abangan" di kampungnya berinisial R. Ahu mengklaim sudah delapan kali menjadi "tim pemukul" dalam unjuk rasa, tiga di antaranya di Kompleks Parlemen Senayan.

“Yang dulu Gibran dibilang terlalu muda jadi wapres itu saya ikut. Terus yang Jokowi dibilang campur tangan pemilu juga ikut,” katanya. Menurut Ahu, R biasanya menanyakan siapa yang bersedia ikut ke Jakarta. Mereka yang bersedia kemudian diajak.

Ahu menjelaskan, di atas R ada lagi seorang koordinator. “Bosnya ada bapak-bapak. Pakai masker terus jadi saya tidak tahu mukanya,” tutur Ahu.

Ajakan terbaru, lanjut Ahu, datang pada Rabu (27/8/2025). “Dibilangnya untuk protes anggota DPR,” kata Ahu. Sepuluh orang dari kampungnya berangkat setelah diperintahkan membuat 160 bom molotov dari minyak tanah.

Bom-bom itu diangkut ke dalam sebuah minibus putih. Di dalamnya, Ahu melihat sudah disiapkan banyak petasan dan kembang api. Dari Cimahi, rombongan itu berangkat menjemput “pasukan” tambahan ke Bandung. Konvoi dipimpin empat mobil: satu minibus, Agia, Avanza, dan satu mobil kecil. Rombongan ini memiliki plat nomor kendaraan F (Bogor), E (Cirebon), dan B (Jakarta).

Konvoi tersebut kemudian menjemput tambahan pasukan di Bandung Barat, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Sesampainya di Bogor, rombongan sepeda motor diklaim sudah mencapai 600 orang.

Rombongan itu berunjuk rasa lebih dulu di Tangerang sebelum tiba di Kompleks Parlemen Senayan pada Kamis. “Langsung kita serang pagarnya, petasan dibakar, bom molotov dilemparin,” kata Ahu. Ia menuturkan, para koordinator di mobil ikut turun dan memanaskan situasi.

Di Kompleks Parlemen, Ahu mengaku bertemu dengan rombongan lain yang direkrut dengan cara serupa. “Kami dari Bandung. Ada juga dari Bekasi, dari Jawa lupa tempatnya, sama ada kelompok yang bicaranya seperti orang Medan,” tuturnya.

Sementara sebagian kelompok beraksi di DPR, rekan-rekan Ahu yang lain membakari halte-halte Transjakarta. “Itu pakai molotov yang dibuat di kampung,” kata dia. Sebagian dari anggota rombongan, tambahnya, ditugaskan mengunggah siaran langsung di TikTok.

Pada Jumat malam, Ahu menceritakan, aparat mulai menembakkan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa. Saat itulah ia terpisah dari rombongannya. “Saya cari-cari nggak ketemu. Terlalu banyak orangnya,” kata Ahu.

Hingga massa di DPR mulai sepi menjelang Sabtu sore, ia tak menemukan satu pun anggota rombongannya. Ahu sempat mencoba menyusul dengan angkot ke wilayah utara Jakarta, namun tanpa telepon genggam dan uang saku yang habis, upayanya gagal. Ia akhirnya kembali berjalan kaki ke area DPR dan menunggu di titik ia bertemu Republika.

Ahu terkejut saat diberitahu bahwa penjarahan terhadap rumah-rumah anggota dewan sudah terjadi pada Sabtu sore. “Udah ancur? Saya mau ke sana ditinggal!” kata Ahu. “Mau baca berita bagaimana, Bang, hape tidak ada,” ia mencoba meyakinkan.

Saat diperlihatkan video penjarahan, Ahu mengaku mengenali sebagian orang yang ada di dalamnya. “Itu yang naik ke atas mobil yang pegang hape sama jaket saya,” kata dia saat diperlihatkan video penjarahan dan perusakan kediaman politikus Nasdem Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Ahu melanjutkan, “Itu yang baju biru juga rombongan saya, Bang.” Ia juga tidak heran saat melihat ada brankas yang diangkut. “Kami hanya dikasih makan nasi bungkus saja tiga kali sehari,” ujarnya. Ia mengatakan, hasil jarahan di rumah-rumah anggota dewan tersebutlah yang dijanjikan sebagai keuntungan. “Kami tak dibayar, kata abangnya nanti ada brankas yang bisa diambil di rumah yang dijarah,” kata dia.

Kisah Ahu tidak dapat diverifikasi secara independen. Namun, pantauan saat penjarahan menunjukkan bahwa para pelaku bukan penduduk setempat. Di Jakarta Utara, misalnya, warga mencoba mencegah penjarahan terhadap kediaman Ahmad Sahroni. "Setahu saya udah sejak Ashar (penyerangannya), tapi nggak tahu tuh, mukanya banyak yang nggak kenal," kata seorang ibu yang tengah mencari anaknya di sela-sela penjarahan. Sekitar pukul 19.00 WIB, gang menuju rumah Sahroni ditutup oleh warga setempat.

Sementara itu, tidak semua pengunjuk rasa datang atas suruhan pihak tertentu. Hingga Ahad ini, masih ada warga yang datang hendak menyampaikan aspirasinya. “Saya jengkel beneran, Mas. Masak kita bayar listrik, beli beras, bayar pajak, dia orang DPR nggak bayar pajak,” kata Salimah (60), seorang ibu dari Kalibata, Jakarta Selatan. Ia mengatakan datang hendak berunjuk rasa sejak kemarin namun terhambat acara aqiqah cucunya.

“Sekarang saya sudah bawa bekel. Ada nasi, minuman, ada roti. Sampai kapan juga demonya saya jabanin,” ujarnya berapi-api. “Saya sudah minta izin sama Allah, mau demo sampai tobat itu anggota dewan,” ia melanjutkan sambil menyeka matanya yang perih terkena sisa gas air mata.

Sumber: republika.co.id

Komentar Via Facebook :